MAKALAH
SISTEM PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Di susun oleh :
Andrie Sukamdani
Jurusan : Pendidikan Bahasa Inggris
Mata Kuliah : Agama II
Dosen : Bpk.H.Anwar Musadad MPd
POKJAR KAMPUS YAPIN
JALAN RAYA GADING SERPONG PINTU TIMUR
III
CIHUNI - PAGEDANGAN - TANGERANG
KATA PENGANTAR
Islam adalah
agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak
ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak
ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut
nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian
alam.
Dalam masalah pernikahan,
Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon
pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang
penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah
dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.
Islam mengajarkannya Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling
afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah
inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh
sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk
mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas
kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang
bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita
luhur yang kemudian dari persilangan syar’itersebut sepasang suami
istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini
menjadi semakin semarak.
Melalui risalah
singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara
perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk
meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat
istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita
bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran
sebuah pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta’an.
MUQADIMAH
Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan
selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut
tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu
lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan
benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan
sentral.
Karena lembaga itu
memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai
peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut
Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi
sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala. :
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman
kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?.
Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
(Al-Baqarah : 30).
pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan
persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah
sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO),
sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan
semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan
menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah
memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai
dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan),
bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam
rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh
Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk
memahami konsep Islam tentang pernikahan maka rujukan yang paling sah dan benar
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus
Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek
pernikahan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai pernikahan yang
terjadi di masyarakat kita.
persoalan yang perlu
dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan pernikahan dalam
Islam, Tata Cara pernikahan dan Penyimpangan Dalam pernikahan.
PERNIKAHAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah
Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh
manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah
(naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan
yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak
menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
A.
Islam
Menganjurkan Nikah
Islam
telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat
asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam
terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan
sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata :
“Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah
melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam
memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak
Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang
keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak
anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan
para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh
Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika
tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan,
masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata:
Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun
saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya ….
Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar
seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata
begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut
dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku
shalat dan aku juga tidur dan aku juga menikahi perempuan. Maka barangsiapa
yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau
menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh
Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering
dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang
hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar
egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung
jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian
semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan
melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan
yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan
ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah
kenistaan.
Jadi orang yang enggan
menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong
orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling
tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun
spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem
tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti
melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya.
Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil
(bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di
alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah,
misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya
istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah
perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan
untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi
rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah,
dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang
berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba
yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin
memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu
Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih
sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka
berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
“Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada
aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul
‘Arus hal. 20).
TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi
Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan),
bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang
ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi
Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di
antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan
keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari
kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa
diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi,
Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan
Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua
kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah.
Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan
batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan
ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya
(sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga
dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan
istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang
(mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah
tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka
ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang
ideal :
a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah
a. Kafa’ah Menurut
Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah
banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang
memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu
mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja.
Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’
(sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat
dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara
kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga
yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam
hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang,
bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat
seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada
perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap
sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya.
Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan
mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal :
Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab
kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari
6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang
Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus
memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang
ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah
telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul,
Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan
(tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan
laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at
kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami
akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat
melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk Meningkatkan
Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada
Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah
tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi
istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan
istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat
keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu
birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh
dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya,
benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan
istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits
Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang
Shahih).
5. Untuk Mencari
Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari
diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
(An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar
memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya
keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam
yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”,
tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum
muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah.
Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan
mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan
perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu
sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar
yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi
umat Islam.
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para
Salafus Shalih -peny), Konsep Pernikahan Dalam Islam :
1. Khitbah
(Peminangan)
Seorang muslim yang akan
mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena
dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang
seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq
‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang
(Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
yang dinamakan ta’aruf (kenalan) itu
orang tua/wali masing-masing calon bertemu dan bermusyawarah dan mempertemukan
kedua calon (saling bertatapan muka saja) lalu membicarakan masing-masing
identitasnya apabila ada kecocokan bisa dilanjutkan kepada KHITBAH (tunangan)
dengan adanya komitmen untuk kejejang yg lebih serius (nikah), dan dimasa
khitbah-pun kedua calon belum halal untuk berpegang-pegangan, apabila sudah
mencapai masa/hari H nikah baru sah.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.
“Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk
dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang
sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”
[1] Disunnahkan
melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahi wanita itu.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di
antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang
dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”
[2] Al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
أُنْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut,
sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian
berdua.”
[3] Imam at-Tirmidzi
rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa
menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat
apa yang diharamkan darinya.”
Tentang
melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama,
ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang
berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat
rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang
disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam.
[4]Ketika Laki-Laki
Shalih Datang Untuk Meminang.
Apabila seorang laki-laki yang
shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah
kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun
berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari
Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَانْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.
“Jika datang kepada
kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia
(dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar.’”
[5] Boleh juga seorang
wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang
shalih.
Sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti
‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi,
ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin
al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan
Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa
hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk
tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar
ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti
‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat
itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka
berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar
menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan
Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu
Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk
menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah
menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan
menerima tawaranmu.’”
[6] Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah
nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki
yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah
masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a
seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan,
serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.
Hal
ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat
Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat
Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang
di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan
shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ (وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ) خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon
kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku
mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau
Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak
mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila
Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya
menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya
terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia
atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian
berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan
ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada
diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau
akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya,
dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada,
kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’”
Dari
Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab
binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata,
‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab,
bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’
Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan
yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya.Lalu turunlah ayat
Al-Qur’an dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung
masuk menemuinya.”
Imam an-Nasa’i
rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul
Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah
ketika Dipinang).”
Fawaaid
(Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah
hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah
dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat
Dhuha, atau shalat malam.
3. Shalat Istikharah
dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan
untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan
adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas
dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits
yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih
dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya
wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang
orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan
dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan,
sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri
undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih
Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang
shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan
dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang
taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38
dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Pelaksanaan
Pernikahan
Pelaksanaan pernikahan terdiri dari:
.1.Rukun Pernikahan
a.Calon pasangan suami istri yaitu
laki-Laki-laki muslim dan perempuanmuslimah yang tidak diharamkan
untuk dinikahi.
b.Wali yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali
nasab maupun wali hakim. Wali nasab adalah 1
wali yang mempunyai hubungan darah dengan
perempuan yang akandinikahkan. Sedangkan wali hakim adalah wali yang diangkat
untuk menikahkan perempuan yang tidak memiliki atau karena sesuatu haltidak mempunyai wali nasab.c.Saksi yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atasterjadinya suatu pernikahan untuk menguatkan
akad nikah yang terjadidan menjadi saksi keabsahan keturunan yang lahir dari pernikahantersebut.d.Mahar yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan pada saat pernikahan. Jumlah dan
jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran islam,tetapi dianjurkan disesuaikan
dengan kemampuan laki-laki.e.Ijab dan qabul, ijab
adalah ucapan penyerahan
dari wali perempuankepada
pihak laki-laki. Sedangkan qabul adaalah ucapan penerimaan pihak laki-laki atas penyerahan perempuan dari
walinya.Contoh ucapan ijab qabul, adalah :
✔
Wali : Aku nikahkan
engkau dengan anakku (disebut nama pengantin perempuan) dengan mas kawin (sebut, jenis dan jumlah) tunai.
✔
Qabul dari penganten laki-laki : Aku terima
nikahnya (sebutnama perempuan) dengan mas kawin (sebut, jenis, dan jumlah)tunai.
2.Tidak
sahnya ijab dan
qabul
Ijab dan qabul tidak sah apabila tidak memenuhi
syarat-syarat berikut :
a.Ijab dan qabul itu dilafalkan
oleh orang yang balig dan berakal.
b.Ijab dan qabul harus dilafalkan
pada satu majelis.
c.Qabul tidak berbeda dengan ijab
kecuali dalam hal-hal yang sifatnyalebih baik atau lebih sempurna.
d.Orang yang mengungkapkan ijab tidak mencabut ijabnya atau tidak menunjukan sikap berpaling dari suasana ijab sebelum qabul diucapkan.
e.Kedua belah pihak mendengar ijab dan qabul itu secara jelas danmemahami maksudnya dengan baik
f.Ijab dan qabul bersifat tuntas atau tidak dikaitkan
dengan syarat lainyayang dapat membatalkan akad
nikah.
Hukum
Pernikahan.
1.Jaiz atau mubah
Pernikahan hukum asalnya adalah mubah (boleh). Pada
prinsipnya,setiap manusia yang telah memiliki persyaratan untuk menikah,dibolehkan
untuk menikahi seseorang yang menjadi pilihannya. Hal inididasarkan atas firman
Allah Swt. Dalam surat An-Nisa (4) ayat 3
Yang artinya “Dan jika
kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jikakalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang
wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian
itulebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.”
(An-Nisa`: 3)
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan At-tirmidzi,Rasulullah bersabda, “Ada empat hal
yang merupakan ajaran para rasul,yaitu memiliki rasa malu, memakai
wangi-wangian, bersiwak, dan menikah.
2.Sunah
Pernikahan hukumnya sunah bagi mereka yang telah mampu
dan berkeinginan untuk menikah. Perkawinan yang dilakukannya
mendapat pahala dari Allah swt. Hal ini didasarkan pada sabda
Rasulullah saw.dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh semua ahli hadis, yang artinya,“Hai
para pemuda,barang siapa diantara kamu yang mampu serta berkeinginan untuk
menikah, hendaklah dia menikah. Karenasesungguhnya perkawinan itu dapat
menundukkan pandangan mataterhadap orang yang tidak halal dilihat dan akan
memeliharanya darigodaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu
menikah, hendaklahdia berpuasa. Karena dengan puasa hawa nafsunya
terhadap perempuanakan berkurang”.
3.Wajib
Pernikahan yang dilakukan seseorang yang sudah memilikikemampuan,baik
secara materi maupun mental hukumnya wajib. Jika iamenangguhkannya, justru
dikhawatirkan akan terjerumus ke dalamkesesatan.
4.Makruh
Pernikahan menjadi makruh hukunya apabila dilakukan oleh
orang-orang yang belum mampu melangsungkan perkawinan. Kepada merekadianjurkan
untuk berpuasa.
5.Haram
Pernikahan menjadi haram hukumnya apabila dilakukan oleh seorangyang
bertujuan tidak baik dalam Pernikahannya. Misalnya untuk menyakiti hati
seseorang. Pernikahan dengan motivasi yang demikian dilarang oleh ajaran
Islam dan sangat bertentangan dengan tujuan mulia dari Pernikahan itu
sendiri. Tujuan Pernikahan adalah :
firman Allah Swt. dalam al-Quran surat ar-Rum (30) ayat 21:
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakanuntukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung danmerasa tentram kepadanya. Dan
dijadikan di antara kamu rasa kasih sayang, sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda bagikaum yang berpikir”.
(QS.
Ar-Rum : 21)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan
bahwa tujuan perkawinan adalahterciptanya ketentraman dan munculnya rasa dan
kasih sayang di antarasuami dan istri. Termasuk ke dalam perkawinan yang
diharamkan ialah perkawinan yang dilakukan dengan maksud menganiaya dan
mengambilharta orang. Hal ini disebabkan niat perkawinan tersebut bukan
karenaAllah Swt., tetapi hanya karena harta atau materi.
Thalak dan
Iddah, Rujuk
1.Pengertian
dan Hukum Thalak
Talak adalah melepaskan ikatan nikah dari suami kepda istrinyadengan
lafaz tertentu, misalnya suami mengatakan: “Saya thalak engkau”,dengan
ucapan tersebut lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian.Thalak
adalah jalan akhir yang ditempuh suami istri, jika cara lainuntuk mencapai
kebaikan bersama tidak ditemukan. Thalak halalhukumnya, tetapi
konsekuensinya sangat berat, terutama jika pasangan itutelah memiliki
keturunan, karena itu, walaupun halal, Allah membencinya.
“Dari
ibnu Umar RA, ia berkata: Rasulullah bersabda: barang yang halal tetapi
dibenci Allah adalah thalak”.
(HR. Abu Daud, Ibn Majah,disahkan Hakim dan Abu Hatim menguatkan
mursalnya)
2.Macam-macam Thalak
a.Thalak
Sunni dan
Thalak sunni adalah thalak yang dijatuhkan suami ketika istrinya sedang
suci, tidak sedang haid atau tidak dicampuri.
b. Thalak Bidh’i
Thalak bidh’I adalah thalk yang dijatuhkan suami ketika istrinya
sedang haid, atautelah dicampuri. Thalak bidh’I hukumnya haram.
c.Thalak
Sarih .
Thalak Sarih adalah thalak yang diucapkan suami dengan menggunakan
kata thalak (cerai), firak (pisah), atau sarah (lepas). Dengan menggunakan
kata-kata tersebut dinyatakan sah.
d.Thalak kinayah
Thalak kinayah adalah ucapan yang tidak jelas namun
mengarah kepada thalak. Misalnya, ucapanyang bernada mengusir, menyuruh pulang,
atau yang bernada tidak memerlukann lagi dan sejenisnya. Jika suami
mengucapkannya dibarenginiat, maka thalaknya jatuh. Nabi bersabda:
“Dari
abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: Ada tiga perkara yang
apabila disungguhkan jadi dan bila main-main pun tetap jadi, yaitunikah, thalak
dan rujuk”.(HR.Imam
empat, kecuali Nasai dandisahkan oleh Hakim)
e.Thalak
Raj’I.
Thalak raj’I adalah thalak yang bisa dirujuk kembali oleh
bekas suaminya tanpa memerlukan nikah kembali. Hal ini berupa thalak satu dan
thalak tiga yang dijatuhkan oleh suami kepada istri.
f.Thalak
Bain
Thalak bain adalah thalak dimana suami tidak boleh merujuk kembali bekas
istrinya,kecuali dengan persyaratan tertentu. Thalak bain terdiri atas thalak
bainsugra dan thalak bain kubra.Thalak bain sugra adalah thalak dijatuhkan
kepada istri yang belumdicampuri dan thalak tebus. Pada thalak ini suami
tidak boleh merujuk kembali bekas istrinya, kecuali dengan pernikahan baru
baik pada masaiddah maupun sesudahnya.Thalak
bain kubra adalah thalak tiga dimana bekas suami tidak boleh
merujuk atau mengawini kembali bekas istrinya, kecuali bekasistrinya itu
dinikahi oleh laki-laki lain dan telah dicampuri. Jika suaminyaitu
menceraikannya, maka bekas suami yang pertama boleh menikahinyakembali,
sebagaimana firman Allah:
“Kemudian
jika suami menthalaknya (sesudah thalak kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, makatidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankanhukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nyakepada kamu yang mengetahui”.
(QS.Al-Baqarah,2:230).
Pengertian Iddah dan Lamanya Masa Iddah
Iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang dithalak oleh suaminya
sampai ia dapat menikah kembali dengan laki-laki lain.Lamanya masa iddah bagi perempuan:
a.Perempuan yang
mengalami haid secara normal, iddahnya tiga kali suci.Telah
disebutkan dalam Firman ALLAH S.W.T yang
artinya :
“Wanita-wanita yang
dithalak hendaknya menahan diri (menunggu)tiga kali quru (suci)…”
(QS.Al-Baqarah, 2:228)
b.Perempuan yang
tidak lagi mengalami haid (menopouse) atau belum mengalaminya sama sekali,
iddahnya tiga bulan.Firman ALLAH S.W.T yang artinya :
“Dan perempuan yang
putus asa dari haid di antara perempuan- perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), makaiddah
mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan yang tidak haid… .
(QS.Ath-Thalaq, 65:4)
c.Perempuan yang ditinggal
mati suaminya, iddahnya empat bulansepuluh hari.
“Dan
orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkanistri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari..
(QS.Al-Baqarah,2:234)
d.Perempuan yang
sedang hamil, iddahnya sampai melahirkan.
“…Dan
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampaimereka melahirkan
kandungannya”.
(QS.Ath-Thalaq,65:4)
Rujuk
Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak pada pernikahan
yang asal sebelum diceraikan.
Hukum rujuk:
1wajib
Terhadap suami yang
menalak seorang istrinya sebelum diasempurnakan pembagian waktunya terhadap
istri yang dithalak.
2.Haram
Apabila rujuknya
menyakiti si istri.
3.Makruh
Kalau perceraian itu
lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suamiistri)4.Jaiz (boleh)Jaiz adalah hukum rujuk yang asli.5.sunahJika maksud suami adalah untuk
memperbaiki keadaan istrinya.
Rukun Rujuk:
1.Istri
Keadaan istri
disyaratkan:
a.Sudah
dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabiladithalak, terus putus pertalian antara keduanya,
si istri tidak mempunyai iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.
b.Istri yang tertentu,
jika suami menalak
beberapaistrinya,kemudian ia rujuk kepada salah satu istri dengan
tidak ditentukan siapa yang dirujukkan, maka rujuknya tidak sah.
c.Thalaknya
adalah thalak raj’i.
d.Rujuk itu terjadi sewaktu
istri dalam iddah.
2.Suami
Rujuk ini dilakukan oleh
suami atas kehendaknya sendiri, artinya bukan dipaksa.
3.Saksi
Dalam hal ini para ulama
berselisih paham, apakah saksi itu wajib menjadi rukun atau sunah.
Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain tidak wajib, melainkan
hanya sunah.
4.Sigat (lafaz)
Sigat ada 2 yaitu:
a.Terang-terangan, misalnya dikatakan,
“saya kembali kepada istrisaya”, atau “saya rujuk kepadamu”.
b.Melalui
sindiran,misalnya, “saya pegang engkau”, atau “sayakawin engkau”, dan sebagainya, yaitu dengan
kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau lainnya
SEBAGIAN PENYELEWENGAN
YANG TERJADI DALAM PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN .
1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum
melangsungkan pernikahan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya
dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap
sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.Adanya anggapan
seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap
masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan
seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti
tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis,
terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas
semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang
laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu
bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak
ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
2. Tukar Cincin.
Dalam peminangan biasanya ada
tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat
Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani).
3. Menuntut Mahar Yang
Tinggi.
Menurut Islam sebaik-baik
mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar
itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut
mahar yang tinggi.Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin
Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat
itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4. Mengikuti Upacara
Adat.
Ajaran dan peraturan Islam
harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang
bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam
dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat,
sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih
telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat
ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan
melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang
mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan
diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang
merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran :
85).
5. Mengucapkan Ucapan
Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum jahiliyah selalu
menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat
kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki
dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib
nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan
ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang
mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya
:”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka
‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan
atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi
2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah
:
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa
jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan
hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai,
beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a
baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan,
Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia
mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38,
Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya
laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat
tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan
wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari
semuanya.
7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain
yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut
ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa),
Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan
diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
(Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami,
seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya,
serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing
yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk
mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat
terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari
kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi
kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang,
tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan
percekcokan.Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam
memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan pernikahan secara
Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan
aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.
Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).
“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada
kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami
Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam
bish shawab.
==================================================================
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.
(QS.At-Thalaq:2-6)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.
(QS.Ali-Imraan:102)
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam agama Islam pernikahan memiliki hukum-hukum tersendiri,
hukumtersebut di dasarkan dari al-Qur’an dan al-hadist. Selain sebagai
penyalurannaluri seks yang sah, pernikahan juga sebagai penyaluran naluri
kebapaan dankeibuan. Namun, ada penyelewengan pernikahan yang dibolehkan dalam
islam,hal tersebut dibolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.
Saran
Bagi seorang laki-laki
yang sudah berkeinginan untuk menikah dan sudahmampu baik lahir maupun batin
sebaiknya mencari seorang istri dan segeramenikahinya, agar tidak terjadi
fitnah dan zina
DAFTAR PUSTAKA
Yazid bin Abdul Qadir Jawas,Konsep Pernikahan Dalam Islam.
Pustaka At-Taqwa Bogor.
Ilmy Bachrul. Pendidikan Agama Islam.
Grafindo Mesia Pratama : Bandung :2007
Suryana, Toto dkk. Pendidikan
Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Tiga Mutiara :2006